Hak Angket Disepakati, Tiga Partai Walkout
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus siap ’diobok-obok’ DPR. Terutama, terkait penanganan perkara korupsi e-KTP. Sebab, dewan baru saja menyepakati hak angket untuk komisi antirasuah. Dengan hak melakukan penyelidikan itu, mereka bisa dengan mudah meminta penjelasan lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo itu.
Penggunaan hak angket diputuskan dalam rapat paripurna, kemarin (28/4). Pimpinan DPR terkesan arogan dan memaksakan kehendaknya dalam pengambilan keputusan.
Sebelum diputuskan, Taufiqulhadi, wakil dari pengusul hak angket membacakan surat usulan. “Usulan ini merupakan hak yang dimiliki DPR seperti yang diatur dalam undang-undang,” terang dia mengawali pembacaan surat itu. Yaitu, Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3.
Dia pun menyampaikan alasan pengusungan hak angket. Menurut dia, komisi antirasuah wajib patuh terhadap Undang-Undang KPK. Bekerja berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Lembaga tersebut juga harus bersedia dilakukan pengawasan. “Laporan pertanggungjawaban KPK disampaikan kepada presiden, DPR dan BPK,” paparnya.
Politikus Partai NasDem itu mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi bahwa KPK tidak selalu bekerja sesuai dengan tupoksinya. Hal itu terlihat dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang disampaikan BPK pada 2015.
Ada tujuh item yang menunjukkan ketidakpatuhan KPK dalam pengelolaan keuangan. Di antaranya, kelebihan pembayaran gaji dan pembayaran belanja perjalanan dinas.
Tidak hanya itu, pihaknya juga mendapat laporan tentang bocornya BAP, sprindik dan surat cekal. Bahkan, ada oknum KPK yang membocorkan nama-nama yang diduga terlibat, padahal belum ada kepastian. Ada juga ketidakharmonisan di internal KPK. “Itu mengemuka dalam rapat di Komisi III,” urai pria kelahiran Aceh itu.
Dan yang juga menjadi sorotan DPR adalah adanya pencabutan BAP oleh Miryam S Haryani setelah mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Komisi yang membidangi masalah hukum itu pun mempertanyakan kebenaran pernyataan tersangka e-KTP. Untuk membuktikannya, dewan pun meminta rekaman pemeriksaan Miryam, tapi KPK tidak bersedia memberikannya.
Melihat begitu banyak persoalan, maka pihaknya sepakat mengusulkan hak angket untuk memperdalam masalah yang belum terjawab. “DPR wajib menjaga KPK agar melaksanakan tugasnya dengan baik. Transparan dan akuntable,” terang dia. Menurut dia, seluruh prosedur dan mekanisme hak angket sudah terpenuhi.
Setelah pembacaan usulan hak angket, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin rapat paripurna memberikan kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan pendapat mereka.
Martin Hutabarat, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra mendapat giliran pertama menyampaikan sikap partainya. Menurut dia, alasan pengusulan hak angket yang disampaikan Taufiqulhadi cukup bagus. Tapi di akhir kesimpulan, Gerindra berbeda pandangan. “Gerindra menolak angket,” terang dia.
Dia menjelaskan, setelah ini dewan akan memasuki masa reses, dia mengajak para anggota untuk mempertanyakan kepada rakyat, apakah usulan angket itu aspirasi dari rakyat atau kepentingan dewan sendiri.
Apa urgensinya pengusulan hak angket. Jadi, dia mengajak agar pembahasan itu ditunda dan bertanya dulu kepada konsituen. “Kita harus menjaga agar DPR tidak jadi cemoohan masyarakat,” ucapnya.
PKB juga bersikap sama. Neng Eem Marhamah Zulfa, anggota DPR dari Fraksi PKB mengatakan, angket memang hak konstitusional. Namun, kata dia, PKB tidak ingin menggunakannya saat ini.
Mungkin, persoalan itu bisa diselesaikan lewat panja di Komisi II. Jika diselesaikan lewat angket, dia khawatir pembahasan akan melebar. “PKB menolak hak angket,” tegas dia.
Fraksi Partai Demokrat juga berpandangan sama. Anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani menyatakan, hak angket yang digulirkan sebagian anggota dewan akan melemahkan KPK. Menurut dia, fraksinya tidak setuju dengan angket.
Menurut dia, dewan bisa menempuh cara lain tanpa menganggu iklim penegakan hukum. KPK, terang dia, harus tetap dikoreksi dalam melaksanaan tugasnya, sehingga melakukan tugas dengan baik.
Masinton Pasaribu, anggota DPR dari Fraksi PDIP tidak sepakat dengan apa yang disampaikan wakil dari Gerindra, PKB dan Demokrat. Dia menyatakan, mereka menyajikan politik kemunafikan.
Menurut dia, sebelumnya mereka meyakini ada proses yang salah dalam KPK. Awalnya, tutur dia, semuanya setuju, tapi dia tidak tahu kenapa sekarang mereka balik badan. “Saya bosan dengan politik munafik,” kata dia.
Politik itu harus konsisten. Dia tahu risiko dan dampaknya dalam mengusung hak angket. Dia menganggap apa yang dilakukan rekan-rekannya itu hanya pencitraan.
Selanjutnya, Fahri Hamzah pun langsung bertanya kepada anggota. “Apakah setuju dengan hak angket,” tanyanya. Tanpa mendengarkan semua anggota, politikus asal Sumbawa, NTB itu langsung ketok palu.
Para anggota dewan pun mengajukan protes, tapi tidak ditanggapi. Bahkan, Ketua Fraksi Partai Gerindra maju ke depan dan mengacungkan tangan untuk interupsi, tapi tidak digubris. “Sekarang kita dengarkan ketua bacakan pidato,” ucap Fahri.
Beberapa anggota tetap protes, tapi tetap tidak digubris. Ketua DPR Setya Novanto pun masih tetap membacakan pidato penutupan masa sidang. Karena interupsi mereka tidak digubris, Fraksi Partai Gerindra pun walkout, langkah itu diikuti anggota dari Fraksi Partai Demokrat dan PKB. “Anda bukan pimpinan kami,” teriak salah satu anggota sembari meninggalkan ruang rapat.
Usai pembacaan pidato ketua, Erma dari Demokrat meminta klarifikasi kepada Fahri apakah pendapat yang dia sampaikan diterima. Namun, Fahri tidak menjawab pertanyaan itu. Dia malah mengatakan bahwa setelah reses panitia angket akan dibentuk. Rapat paripurna kemudian ditutup.
Ahmad Muzani menilai, Fahri selaku pimpinan sidang tidak bijak dan terburu-buru mengambil keputusan penetapan angket. “Tindakan pimpinan gegabah terhadap aspirasi di anggota, kalau modalnya begitu gimana,” kata Muzani di luar sidang paripurna, bersama puluhan anggota Fraksi Partai Gerindra lainnya.
Muzani menilai, pengambilan keputusan angket tidak perlu dengan cara semacam itu. Sebelum diketok, seharusnya pimpinan sidang lebih bijak menyikapi adanya penolakan. Misalkan, pimpinan sidang bisa menunda sementara pengambilan keputusan untuk dilakukan lobi.
“Beberapa fraksi kan menyatakan sikap yang sama (menolak angket, red), sebaiknya kan diskors untuk dilakukan lobi-lobi. Kami juga nggak ngotot kok,” kata Muzani dengan mimik kecewa.
Muzani mengisyaratkan ada cacat prosedural dari cara pimpinan sidang mengesahkan putusan angket. Karena itu, Fraksi Partai Gerindra akan menggalang kekuatan untuk mengusulkan paripurna pembatalan putusan hak angket terhadap KPK. “Ini tidak pas menurut saya. Gerindra akan berusaha membatalkan, nanti di paripurna lagi,” kata Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu.
Biasanya, dalam pengambilan keputusan terkait dengan isu hukum, maka pimpinan sidang yang memimpin paripurna adalah wakil ketua DPR bidang politik, hukum, dan keamanan.
Dalam hal ini, jabatan itu dipegang oleh Fadli Zon. Namun, justru Fahri selaku wakil ketua DPR bidang kesejahteraan rakyat (kesra) yang memimpin. Fadli yang juga wakil ketua umum Partai Gerindra juga nampak terlambat keluar saat seluruh anggota Fraksi Partai Gerindra melakukan WO.
“Dalam proses pengunaan hak semacam ini biasa ada yang pro dan kontra. Saya dalam hal ini mau koordinasi. Saya sudah bilang ke pimpinan suara, kami mau koordinasi dahulu,” alasan Fadli terkait keterlambatannya mengikuti WO.
Fahri mengatakan, memang ada tiga anggota yang menyampaikan pendapat. Namun, kata dia, setelah itu dia menanyakan kepada semua anggota apakah mereka setuju dengan usulan itu. Karena, mayoritas setuju maka dia pun ketok palu. Jadi, semua anggota sepakat menggunakan hak angket. Pembentukan panitia angket akan dilaksanakan setelah reses pada 17 Mei,” tuturnya.
Setiap fraksi akan mengirim wakilnya untuk masuk pansus hak angket. Jika fraksi tidak mengutus anggotanya, maka pansus itu tidak bisa terbentuk. “Kita tunggu saja nanti. Walaupun sudah disepakati, tapi kalau tidak ada yang mengirim perwakilan, ya tidak ada pansus,” ujarnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.